Bagi sebagian besar
orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah melewati usia dewasa, remaja
adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan terhadap saat remaja merupakan
kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang memiliki anak
berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak
konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri. Banyak orangtua yang tetap menganggap anak
remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua para
anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang
dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja,
tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jatidiri yang
mandiri dari pengaruh orangtua. Keduanya
memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum
menghadapi hidup sebagai orang dewasa.
Sebetulnya, apa yang
terjadi sehingga remaja merupakan memiliki dunia tersendiri. Mengapa para remaja seringkali merasa tidak
dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya?. Mengapa remaja seolah-olah memiliki masalah
unik dan tidak mudah dipahami?
Masa Remaja
Masa remaja
merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun
peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap
sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau
batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi
pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum
usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10
tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti
ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang
dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang
sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya
dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang
pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena
kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka
dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda
keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda
fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang
dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai
dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat memhami remaja, maka perlu
dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.
Dimensi Biologis
Pada saat seorang
anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja
putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami
perubahan yang sangat besar. Pubertas
menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam
memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang
berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH);
dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada
anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan
progesterone: dua jenis hormon kewanitaan.
Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan
Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan
testosterone. Pertumbuhan secara cepat
dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak
perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya
sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai
berkembang, dll. Anak lelaki mulai
memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan
dengan tumbuhnya hormon testosterone.
Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan
akan membawa mereka pada dunia remaja.
Dimensi Kognitif
Perkembangan
kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan
kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan
operasi formal (period of formal operations).
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri
dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang
sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak
alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak
mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti
ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima
informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta
mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman
masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan
rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja
mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk
Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu
sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini.
Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional
konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum
mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan
sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar
satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir
anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang
cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak
memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan
mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap
pemikiran abstrak supaya saat mereka
lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk
menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Dimensi Moral
Masa remaja adalah
periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang
terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri
mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan
bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi
masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya:
politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang
kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa
bantahan. Remaja mulai mempertanyakan
keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif
lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar
dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan
kepadanya. Sebagian besar para remaja
mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui
dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa
ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang
lain. Baginya dunia menjadi lebih luas
dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning)
pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada
di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari
sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang
selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak
diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.
Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan
korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam
suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan
remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua
atau pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung
penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam
memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri
remajanya. Orangtua yang bijak akan
memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa
berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik.
Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan
bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar
lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya.
Ini bisa menjadi berbahaya jika
“lingkungan baru” memberi
jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai
menajam. (Baca juga artikel: Perkembangan Moral)
Dimensi Psikologis
Masa remaja
merupakan masa yang penuh gejolak. Pada
masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian
di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi
dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit
untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke
“sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk
hal yang sama. Perubahan mood (swing)
yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah,
pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang
mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau
masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang
lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu
mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka
sendiri. Anggapan itu membuat remaja
sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya
keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di
hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada
kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan
jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”.
Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika
ia sering dihadapkan dengan dunia nyata.
Pada saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki
dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun
dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain
kemudian menjadi tidak berdasar. Pada
saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk
menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu,
sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan
mereka. Tindakan impulsif sering
dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan
akibat jangka pendek atau jangka panjang.
Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan
mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih
percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab.
Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan
sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian
positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat
dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai
“seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk
dicobanya. Remaja akan membayangkan apa
yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti
itu. Pemilihan idola ini juga akan
menjadi sangat penting bagi remaja.
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh
individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan
itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka
sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa “ia bisa
berbeda” dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja
dihadapkan pada banyak pilihan.
Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin
selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Contoh: anak seorang insinyur bisa saja
ingin menjadi seorang dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak
ayahnya. Ia akan mencari idola seorang dokter yang sukses dan berusaha
menyerupainya dalam tingkahlaku. Bila ia merasakan peran itu tidak sesuai,
remaja akan dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya “akan lebih
sesuai”. Begitu seterusnya sampai ia
menemukan peran yang ia rasakan “sangat pas” dengan dirinya. Proses “mencoba
peran” ini merupakan proses pembentukan jati-diri yang sehat dan juga sangat
normal. Tujuannya sangat sederhana; ia
ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Ia tidak mau hanya menurut begitu saja
keingingan orangtuanya tanpa pemikiran yang lebih jauh.
Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi
berbahaya. Kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat. Dalam proses “percobaan peran” biasanya
orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orangtua mereka
tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan
pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak
remaja mereka. Pada saat inilah,
kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi
dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
Salah satu upaya lain para remaja untuk mengetahui diri
mereka sendiri adalah melalui test-test psikologis, atau yang di kenal sebagai
tes minat dan bakat. Test ini menyangkut
tes kepribadian, tes intelegensi, dan tes minat. Psikolog umumnya dilatih untuk menggunakan
alat tes itu. Alat tes yang saat ini
umum diberikan oleh psikolog di Indonesia adalah WISC, TAT, MMPI,
Stanford-Binet, MBTI, dan lain-lain. Alat-alat tes juga beredar luas dan dapat
ditemukan di toko buku atau melalui internet; misalnya tes kepribadian.
Walau terlihat sederhana, dampak dari hasil test tersebut
akan sangat luas. Alat test psikologi
dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya;
namun di tangan orang yang “bukan ahlinya” atau yang kurang bertanggung-jawab,
alat ini akan menjadi sangat berbahaya.
Alat test jika diinterpretasikan secara salah atau tidak secara
menyeluruh oleh orang yang tidak berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu
yang cukup untuk mengartikan secara obyektif akan membuat kebingungan dan malah
membawa efek negatif. Akibatnya, para
remaja akan merasa lebih bingung dan lebih tidak merasa yakin akan hasil tes
tersebut. Oleh karena itu sangatlah
dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang sudah terbiasa memberikan test
psikologi dan memiliki Surat Rekomendasi Ijin Praktek (SRIP), sehingga dapat
menjamin obyektivitas test tersebut.
Satu hal yang perlu diingat adalah hasil test psikologi
untuk remaja sebaiknya tidak ditelah mentah-mentah atau dijadikan patokan yang
baku mengingta bahwa masa remaja meruipakan masa yang snagat erat dengan
perubahan. Alat test ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau acuan
kaku dalam penentuan langkah untuk masa depan, misalnya dalam mencari sekolah
atau mencari karir yang cocok. Seringkali, seiring dengan perkembangan remaja
dan perubahan lingkungan sekitarnya, konklusi yang diterima dari hasil test
bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi.
Hal ini wajar mengingat bahwa minat seorang remaja sangat labil dan
mudah berubah.
Sehubungan dengan
explorasi diri melalui internet atau media massa yang lain, remaja
hendaknya berhati-hati dalam menginterpretasikan hasil-hasil yang di dapat dari
test-test psikologi online melalui internet. Harap diingat bahwa banyak
diantara test tersebut m asih sebatas ujicoba dan belum dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa
adanya sehingga remaja tidak mengembangkan identitas "virtual" yang
berbeda dengan diri yang asli.
Selain beberapa
dimensi yang telah disebutkan diatas, masih ada dimensi-dimensi yang lain dalam
kehidupan remaja yang belum sempat dibahas dalam artikel ini. Salah satu dari
dimensi tersebut diantaranya adalah dimensi sosial.
Tip untuk Orangtua
Dalam kebudayaan
timur, masih banyak orangtua yang menganggap anak adalah milik orangtua,
padahal seperti yang dituliskan oleh Khalil Gibran: Anak Hanya Titipan Sang Pencipta. Ia bukan kepanjangan tangan orangtua. Ia
berhak memiliki kehidupannya sendiri, menentukan apa yang terbaik bagi dirinya.
Tentu saja peran orangtua sangat besar sebagai pembimbing. Dalam usia remaja, kemampuan penentuan diri
inilah yang semestinya dilatih. Remaja
seperti juga semua manusia lainnya – belajar dari kesalahan. Bagi para orangtua
ada baiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
·
Mulailah menganggap anak remaja sebagai teman
dan akuilah ia sebagai orang yang akan berangkat dewasa. Seringkali orangtua tetap memperlakukan anak
remaja mereka seperti anak kecil, meskipun mereka sudah berusaha menunjukkan
bahwa keberadaan mereka sebagai calon orang dewasa.
·
Hargai perbedaan pendapat dan ajaklah berdiskusi
secara terbuka. Nasihat yang berbentuk
teguran atau yang berkesan menggurui akan tidak seefektif forum diskusi
terbuka. Tidak ada yang lebih dihargai oleh para remaja selain sosok orangtua
bijak yang bisa dijadikan teman.
·
Tetaplah tegas pada nilai yang anda anut
walaupun anak remaja anda mungkin memiliki pendapat dan nilai yang
berbeda. Biarkan nilai anda menjadi
jangkar yang kokoh di mana anak remaja anda bisa berpegang kembali setelah
mereka lelah membedakan dan mempertanyakan alternatif nilai yang lain. Larangan
yang kaku mungkin malah akan menyebabkan sikap pemberontakan dalam diri anak
anda.
·
Jangan malu atau takut berbagi masa remaja anda
sendiri. Biarkan mereka mendengar dan
belajar apa yang mendasari perkembangan diri anda dari pengalaman anda. Pada dasarnya, tidak ada anak remaja yang ingin kehilangan
orangtuanya.
·
Mengertilah bahwa masa remaja untuk anak anda
adalah masa yang sulit. Perubahan mood
sering terjadi dalam durasi waktu yang pendek, jadi anda tidak perlu panik jika
anak remaja anda yang biasanya riang tiba-tiba bisa murung dan menangis lalu
tak lama kemudian kembali riang tanpa sebab yang jelas.
Jangan terkejut jika anak anda bereksperimen dengan banyak
hal, misalnya mencat rambutnya menjadi biru atau ungu, memakai pakaian serba
sobek, atau tiba-tiba ber bungee-jumping ria. Selama hal-hal itu tidak
membahayakan, mereka layak mencoba masuk ke dalam dunia yang berbeda dengan
dunia mereka saat ini. Berikanlah ruang
pada mereka untuk mencoba berbagai peran yang cocok bagi masa depan
mereka. Ada remaja yang menurut tanpa
membantah keinginan orangtua mereka dalam menentukan peran mereka, misalnya
jika kakek sudah dokter, ayah dokter, kelak iapun “diharapkan dan disiapkan”
untuk menjadi dokter pula. Namun ada juga anak remaja yang memang tidak ingin
masuk ke dalam dunia yang sama dengan orangtua mereka. Dalam hal ini janganlah
memaksakan anak mengikuti kehendak orangtua. Seperti Kahlil Gibran : " Anak hanya
titipan, ia milik masa depan dan kita milik masa lalu."
Kenali teman-teman anak remaja anda. Bertemanlah dengan mereka jika itu
memungkinkan. Namun waspadalah jika anak
anda sangat tertutup dengan dunia remajanya. Mungkin ia tidak/ kurang
mempercayai anda atau ada yang disembunyikannya.